Kamis, 19 November 2009

Menjawab Keraguan Khilafah

Sejumlah kecaman, tuduhan, dan fitnahan telah dilontarkan oleh kaum sekular untuk menyerang konsep Khilafah. Jika ditelaah dengan cermat dan saksama, berbagai tuduhan itu menyiratkan 3 (tiga) hal penting:

Pertama, paradigma yang melandasi bermacam tuduhan itu adalah sekularisme, bukan yang lain. Kedua, berbagai tuduhan itu secara implisit telah menggunakan perspektif nilai-nilai Barat dan didasarkan pada pengalaman historis Barat. Manakala ketiga, seringkali tuduhan itu menunjukkan bahawa penuduhnya tidak memahami persoalan, atau memang sengaja melakukan disinformasi untuk kepentingan penyesatan.

Sesungguhnya berbagai tuduhan itu akan gugur dengan sendirinya setelah kita tahu bahawa bahawa paradigmanya (iaitu sekularisme) adalah paradigma yang keliru dan sesat. Berbagai tuduhan itu dapat diumpamakan cabang dan ranting pohon yang berasal dari akar yang sama. Jika akarnya telah tercabut dari tanah, maka seluruh bahagian pohon tidak akan boleh berdiri tegak dan akan roboh dengan sendirinya. Firman Allah SWT:

“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Qs. Ibrahim [14]: 26).

Berikut ini beberapa tuduhan terhadap Khilafah yang berasal dari berbagai sumber, terutama www.islamlib.com, dan juga jawabannya dari berbagai sumber, terutama www.hizbut-tahrir.or.id:

Tuduhan 1: Khilafah itu khayalan dan absurd, kerana mengandaikan satu payung politik untuk negeri-negeri muslim di seluruh dunia.


Jawaban: (1) Kalau mewujudkan Khilafah dikatakan sulit, memang benar. Kalau khayalan, tidak. Menggunakan kata “khayalan” untuk sesuatu yang masih mungkin, adalah suatu kesalahan. Sebab khayalan itu ertinya adalah cita-cita yang yang tak mungkin tercapai (Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1982:1139). Khayalan berasal dari kata utopia yang awalnya adalah judul buku penulis Inggeris Thomas More (1478-1535) yang terbit tahun 1516 (Ebenstein & Fogelman, 1994:208). Isinya menjelaskan suatu negara yang serba indah dan baik, yang hanya ada dalam angan-angan (W. Surya Endra, Kamus Politik, hal. 323).

Jawaban: (2) Khilafah yang merupakan satu negara untuk seluruh kaum muslimin di dunia, pembentukannya tentu tidak serta merta dan dalam satu waktu. Kalau ini jelas tak mungkin dan suatu hil yang mustahal. Caranya, menurut Syaikh an-Nabhani, adalah dengan lebih dulu mendirikan Khilafah di sebuah negeri muslim di Dunia Islam, lalu Khilafah itu terus berkembang untuk memperluas wilayahnya dengan menyatukan negeri-negeri Islam lainnya (An-Nabhani, at-Takattul al-Hizbi, 2001:6-7).

Ini tidak mustahil, sebab dulu Rasul pun lebih dulu mendirikan Dawlah Islamiyah hanya sebatas kota Madinah. Tapi saat beliau wafat, wilayah Islam telah meluas meliputi seluruh jazirah Arab, yang kini meliputi Arab Saudi, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain, dan UAE. Perluasan wilayah Islam terus dilanjutkan para khalifah sesudahnya hingga wilayah kekuasaan kekhilafahan meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropah.

Jawaban: (3) Banyak ayat dan hadis yang menjangkakan kembalinya Khilafah. Misalkan Qs. an-Nûr [24]: 55, dan hadis Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat Imam Ahmad dan al-Bazzar bahawa setelah masa Nubuwwah, ada fasa Khilafah Rasyidah, lalu mulkan ‘adhan (kekuasaan yang menggigit), mulkan jabriyan (kekuasaan yang memaksa), dan setelahnya akan muncul lagi Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.

Tuduhan 2: Khilafah tidak popular dan feasible (layak), kerana bertentangan dengan konsep negara bangsa (nation state) yang disepakati semua manusia moden.


Jawaban: (1) Kalau pun konsep negara bangsa telah disepakati semua manusia, bukan bererti konsep itu benar dalam pandangan Islam. Sebaliknya, sesuatu yang tidak disukai oleh seluruh manusia, belum tentu merupakan kekeliruan dalam Islam (lihat Qs. Al-Baqarah [2]: 216). Siapa yang boleh menjamin bahawa sesuatu yang disepakati seluruh manusia adalah suatu kebenaran yang tidak boleh dibantah? Bahkan Allah SWT berfirman:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Qs. al-An’âm [6]: 116).

Jawaban: (2) Format Dunia Islam yang kini terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan konsep negara bangsa, adalah hasil ciptaan penjajah kafir. Terutama pasca Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Keadaan ini sungguh bertentangan dengan ajaran Islam dari al-Qur’an, al-Hadis, dan Ijma’ Sahabat yang mewajibkan persatuan umat di bawah satu negara. Firman Allah SWT:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai.” (Qs. Ali-Imran [3]: 103).

Sabda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR Muslim].

Dalam kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, juz V, hal. 416 disebutkan, “Para imam yang empat sepakat.. bahawa kaum muslimin tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dua mempunyai dua imam (khalifah), baik keduanya sepakat atau bertentangan.”

Jadi, mendukung konsep negara bangsa ertinya adalah mendukung terpecah belahnya umat Islam. Itu adalah dukungan terhadap hegemoni dan dominasi kaum penjajah yang kafir.

Jawaban: (3) Menyatukan umat Islam memang berat, tapi bukan khayalan. Masalahnya terletak pada kesedaran umat untuk bersatu dalam sebuah visi dan misi kenegaraan yang diyakininya. Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa boleh bersatu kerana meyakini visi dan misi yang sama yakni nasionalisme Indonesia.

Sebaliknya disintegrasi boleh terjadi kalau masyarakat tidak lagi satu visi seperti terjadi saat lepasnya Timor Timur dan runtuhnya Negara komunis. Demikian halnya umat Islam sekarang. Kalau muncul kesedaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka dibawah naungan Daulah Khilafah, pastilah mereka akan bersatu.

Dan ini bukan khayalan kerana Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan KeKhilafahan berikutnya berhasil menyatukan ini. Apalagi dengan kecanggihan teknologi global saat ini pasti menolong persatuan umat Islam sedunia (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah: Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id).

Tuduhan 3: Khilafah telah gagal dan tidak berjalan sempurna, kerana terbukti 3 khalifahnya dalam Khilafah Rasyidah (Umar, Ali, Utsman) mati terbunuh.


Jawaban: (1) Cara mengukur gagal tidaknya sebuah negara yang melaksanakan ideologi tertentu, adalah dengan mengukur dari segi fikrah (konsep) dan thariqah (metod pelaksanaan konsep). Bukan dengan melihat sejauh mana kelangsungan hidup kepala negaranya dari ancaman pembunuhan.

Dengan kata lain, berhasil tidaknya negara ideologis diukur dari segi konseptual dan praktikalnya, iaitu sejauh mana negara itu mempunyai dan memahami konsep hidup yang sahih, dan sejauh mana negara itu beramal menggunapakai konsep itu untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang telah digariskan dalam konsep idealnya. Itulah cara mengukur keberhasilan negara, bukan diukur hanya dengan cara melihat sejauh mana keselamatan jiwa kepala negaranya. Itu terlalu naif.

Jawaban: (2) Tuduhan itu terlampau umum (over generalization) dan dangkal (over simplification), seakan-akan sejarah kekhilafahan Islam semuanya penuh dengan darah dan konflik. Apakah kita akan menutup mata terhadap kemajuan dan peradaban Islam di masa kekhilafahan Abbasiyah pada tahun 700 – 1400 M?

Kita semestinya menghindari generalisasi masyarakat dari sejarah perorangan. Seakan-akan seluruh masa pemerintahan Bani Umayyah adalah gelap dengan hanya memfokuskan pada sejarah Yazid saja. Kemudian kita menutup diri dari kemajuan yang dicapai oleh Bani Umayyah.

Jawaban: (3) Keliru pula menyimpulkan bahawa kerana ada pembunuhan terhadap kepala negara bererti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal semestinya kita mesti meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi kerana ketidakmampuan sistem idealnya atau kerana penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru kerana menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan kerana akibat penerapan syariat Islam itu sendiri.

Jawaban: (4) Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang sering digelar sebagai ‘juara’ demokrasi pernah mengalami Perang Saudara yang berdarah-darah pada abad ke-19. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala negara menjadi soroton, apakah AS sepi dari hal itu? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Abraham Lincoln, pembunuhan John F. Kennedy, percubaan pembunuhan terhadap Ronald Reagan dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya? Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah.

Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, juga penuh dengan pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini. Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam bukunya From Voting to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (Jakarta: KPG, 2003). Apakah ini dengan sederhana dijadikan kenyataan sejarahnya ini menjadi argumentasi untuk menolak sistem ideal demokrasi? (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah: Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id).

Tuduhan 4: Khilafah hanya mungkin diterapkan dalam wilayah geografi sempit dengan komuniti politik yang relatif seragam.


Jawaban: (1) Untuk menjawabnya, cukup pihak penuduh disedarkan, bahawa dia tidak faham fakta sejarah. Apakah kita menutup mata bagaimana wilayah kekuasaan kekhilafahan yang meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropah? Untuk perbandingan sederhana saja, negara Islam yang berpusat di Madinah saat Rasulllah Sallallahu ‘alaihi wa sallam wafat saja wilayahnya telah meliputi jazirah Arab yang kini meliputi kurang dari 7 negara bangsa (Arab Saudi, Yaman, Emiriah Arab Bersatu, Qatar, Oman, Bahrain). Ini bererti empat kali luas gabungan negara Perancis dan Jerman.Apalagi kalau dibandingkan dengan negara kecil seperti Singapura, Swiss, Brunai. Apakah kita masih mengatakan wilayah geografik terbatas terbatas?

Jawaban: (2) Masalah homogeniti, juga terjadi kekeliruan pada pihak penuduh. Di Madinah saja, sebagai pusat negara Islam yang pertama, penduduknya sangat heteregon: terdiri dari berbagai kabilah, suku, termasuk terdapat komuniti Yahudi. Saat kekhilafahan meluas, di Mesir, Iraq, Iran, Syiria, Sepanyol terdapat komuniti Kristian, Yahudi, pemeluk keyakinan Zoroaster dan lainnya. Argumentasi keadaan faktual umat Islam sekarang yang tersebar dalam begitu banyak negara dengan beragam karakter dan kepentingan politik yang berbeza juga lemah untuk menolak keberadaan Khilafah.

Perlu diketahui di masa Rasulullah juga terdapat banyak kabilah dengan berbagai karakter dan kepentingan politik yang berbeza, tapi Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menyatukannya dengan menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka berdasarkan Islam (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah: Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id).

Tuduhan 5: Khilafah bukan sebuah bentuk kekuasaan yang diwajibkan agama, tapi hanya ijtihad politik sahabat sepeninggal Nabi, terbukti dari tidak adanya sistem pengangkatan khalifah yang baku antara Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.


Jawaban: (1) Benar, bahawa tidak ada tatacara teknik yang baku dalam pengangkatan khalifah. Tapi menyimpulkan tidak adanya sistem pemerintahan Islam dari kenyataan itu jelas sangat gegabah. Sebab, yang berbeza hanyalah tatacara teknik pembai’atan (uslub ba’iah), bukan metod pengangkatan khalifah (thariqah nashb al-khalifah), iaitu bai’at.

Jadi, mesti dibezakan antara bai’at (sebagai metod yang baku), dengan prosedur teknik sebelum bai’at yang boleh berubah-ubah. Semua khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) menjadi khalifah hanya dengan bai’at. Tidak ada metod lain. Tidak ada yang tanpa bai’at. Yang berbeza hanyalah prosedur teknik yang ditempoh sebelum bai’at dilakukan. Abu Bakar dibai’at oleh umat dari hasil syura di Saqifah Bani Saidah.

Umar dibai’at oleh umat, setelah sebelumnya dicalonkan oleh Abu Bakar berdasarkan mandat umat kepada Abu Bakar. Utsman dibai’at oleh umat setelah Umar (atas mandat umat) membentuk komisi pemilihan khalifah yang bertugas memilih satu khalifah di antara mereka. Ali dibai’at oleh umat setelah Utsman wafat dan muncul dukungan dan tuntutan langsung dari umat untuk membai’at Ali (Syaikh Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hal. 72-85).

Jawaban: (2) Khilafah bukanlah ijtihad sahabat, melainkan Ijma’ Sahabat. Jika benar Khilafah ijtihad sahabat, nescaya Khilafah tidak mengikat dan para sahabat pun akan ada yang berbeza pendapat, iaitu ada yang tidak mewajibkan Khilafah. Kenyataannya, tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menolak wajibnya Khilafah. Yang ada hanyalah perbezaan pendapat, apakah si A atau si B yang akan menjadi khalifah. Bukan perbezaan pendapat Khilafah itu wajib atau tidak.

Walhasil, kenyataannya, dan yang terjadi, Khilafah itu didasarkan pada kesepakatan semua sahabat (ijma’ sahabat), bukan ijtihad sahabat. Padahal Ijma’ Sahabat adalah sumber hukum syariah (dalil syar’i) ketiga setelah al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun fakta sejarah yang terjadi setelah masa sahabat, tidak mempunyai nilai sedikit pun dalam penetapan hukum syara’. Sebab kenyataan sejarah bukanlah sumber hukum.

Jadi, andaikan setelah Khilafah Rasyidah terjadi proses pewarisan turun temurun dalam Khilafah Bani Umayyah dan Abbasiyah, maka itu hanya sekadar fakta, bukan suatu dalil syar’i. Andaikata saja setelah Khilafah Rasyidah sistem pemerintahan berganti menjadi selain Khilafah (ini andaikata saja), bukan bererti sistem selain Khilafah itu lantas boleh menurut syariah. Itu hanya fakta sejarah, bukan sumber hukum.

Tuduhan 6: Khilafah dalam sejarah itu despotik (sewenang-wenang) dan tidak boleh dimintai pertanggungjawaban, kerana khalifahnya adalah wakil Tuhan di muka bumi.


Jawaban: (1) Tuduhan bahawa dalam sistem Khilafah tidak ada mekanisme kritik dan pertanggungjawaban menunjukkan penuduh tidak mengerti tentang sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah, kritik bukan hanya boleh bahkan ia telah menjadi bahagian yang sangat penting dalam kehidupan politik dan pemerintahan Islam. Mekanisme kritik ada 3 (tiga):

Pertama, boleh dilakukan secara individual oleh setiap muslim. Tidak kurang Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mendapatkan kritik dari para sahabat-sahabatnya berkaitan dengan polisinya dalam perjanjian Hudaibiyah yang dinilai terlalu menguntungkan kafir Quraisy. Khalifah Abu Bakar juga pernah secara langsung dikritik oleh Umar bin Khatab dalam polisinya memerangi orang yang tidak mahu membayar zakat.

Sementara, saat menjadi khalifah, Umar bin Khatab juga tidak sepi dari kritik. Di antaranya bahkan datang dari sekelompok wanita yang memprotes polisi Umar dalam membatasi jumlah mahar maksimal 400 dirham. Umar menerima kritik itu seraya mengatakan, “Wanita itu benar, Umar salah”.

Kedua, kritik juga boleh dilakukan melalui wakil rakyat (majlis al-ummah) yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sistem Khilafah, anggota majlis ummah berhak secara langsung mengkritik khalifah berkaitan dengan keputusan atau polisinya yang dinilai tidak tepat dan merugikan rakyat.

Ketiga, rakyat yang tidak puas terhadap polisi khalifah boleh mengajukannya ke Mahkamah Madzhalim, yakni sebuah pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (khalifah). Tentu saja khalifah mesti tunduk kepada keputusan mahkamah ini.

Jawaban: (2) Muncul pertanyaan, bagaimana kalau khalifah tidak mahu mendengar kritik rakyatnya dan tidak pula mahu menta’ati keputusan pengadilan? Apakah rakyat boleh turun tangan secara langsung? Jawabnya, boleh kerana rakyat adalah pemilik kekuasaan. Rakyat boleh turun tangan secara langsung untuk menjatuhkan khalifah setelah terbukti bahawa khalifah menyimpang dari syariat Islam.

Bahkan kalau penyimpangan yang dilakukan oleh khalifah sampai pada batas yang menunjukkan penentangannya secara nyata terhadap syariat Islam, rakyat boleh angkat senjata (menggunakan kekerasan) untuk menjatuhkan khalifah. Soal ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah, dan Rasul menjawab tegas boleh bila memang khalifah tersebut telah menunjukkan kekufuran yang nyata (kufran bawahan).

Jawaban: (3) Jadi jelaslah bahawa dalam sistem Khilafah terdapat mekanisme yang sangat jelas tentang bagaimana cara mengkoreksi penguasa. Namun, memang mesti diakui pelaksanaan syariah Islam di masa pemerintahan keKhilafahan pada kenyataannya tidaklah selalu berjalan mulus.

Ini tidak lepas dari kenyataan bahawa sistem pemerintahan Khilafah adalah sistem manusiawi (basyariah), yang bagaimana pun tetap dijalankan oleh manusia biasa yang boleh keliru atau menyimpang. Bukan oleh para malaikat atau orang yang maksum (infallible). Oleh kerana itu, penting untuk diingat bahawa menilai sistem Khilafah hanya didasarkan pada adanya penyimpangan praktek sistem ini di masa lalu tidaklah tepat, tapi mestilah merujuk kepada sumber idea dan hukumnya yakni al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Sistem politik apapun, selama masih dijalankan oleh manusia sangat mungkin menyimpang. Demikian juga dengan sistem Khilafah. Kerana itulah dalam sistem Khilafah ada kewajiban mengkritik agar penguasa ini tidak menyimpang. Menyimpulkan bagaimana sistem Khilafah hanya berdasarkan penyimpangan pelaksanannya di masa lalu seperti yang dilakukan oleh penuduh jelas akan menyebabkan kekeliruan dalam melihat bagaimana sistem Khilafah ini sesungguhnya. Kecuali kalau itu memang sengaja dilakukan untuk maksud tertentu.

Jawaban: (4) Penuduh telah menggunakan perspektif Barat bahawa Khilafah adalah sistem teokrasi, di mana raja adalah wakil tuhan di bumi. Padahal sistem Khilafah sangat berbeza dengan sistem teokrasi yang dijelaskan di atas. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pengasas Hizbut Tahrir, dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi al-Islam (sistem pemerintah Islam) memberikan gambaran yang jernih tentang perbezaan antara sistem khilafah dan sistem teokrasi.

Sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, membezakan antara kedaulatan (al-siyadah) dan kekuasaan (al-sultan). Dalam sistem khilafah, kedaulatan (al-siyadah) memang ditangan syaari’ (pembuat hukum, yakni Allah SWT), namun kekuasaan (al-sultan) tetaplah di tangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan bererti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukum atau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation). Sedang bicara tentang kekuasaan bererti berhubungan dengan siapa yang menjadi sumber kekuasaan (source of power).

Dalam Islam yang menjadi sumber hukum adalah Allah SWT yang telah menurunkan al-Qur’an dan as-Sunnah guna mengatur kehidupan manusia. Sementara, makna bahawa kekuasaan (al-sultan) di tangan rakyat adalah tak boleh seorang pun mengaku sebagai penguasa (khalifah) kecuali atas pilihan rakyat.

Dan ketika seorang khalifah dipilih oleh rakyat, ia semata dipilih untuk melaksanakan hukum-hukum Allah (syariah Islam). Kerana itu kata-kata, polisi atau aturan yang ditetapkan oleh Khalifah bukanlah otomatik sebagai kata-kata Tuhan yang lantas mutlak mesti diikuti dan tidak boleh dikritik, apalagi bila nyata-nyata ucapan dan perintah itu bertentangan dengan syariah.

Rasullah Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menyatakan: “Tiada keta’atan kepada manusia dalam maksiat kapada Allah SWT”. Maka, khalifah saat mengambil keputusan tetap mesti merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ertinya, keputusan khalifah baru boleh dita’ati selama merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Kalau tidak, bukan hanya tidak boleh, bahkan wajib ditolak dan dikritik keras.

Kerana itulah dalam Islam ada kewajiban mengoreksi penguasa (khalifah) yang dikenal dengan konsep muhasabah lil hukkam. Bahkan Islam menempatkan derajat yang sangat tinggi bagi aktifiti untuk mengkoreksi penguasa ini. Dalam hadis disebutkan, “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kata-kata yang hak di depan penguasa yang jair/dhalim (kejam).” Mereka yang dibunuh akibat mengoreksi penguasa yang keliru bahkan diberi gelar setara saiyyudusyuhada (pemimpin para syahid) (M. Ismail Yusanto, Khilafah Islam, Sistem Tiranik? Menjawab Kritikan Terhadap Konsep Khilafah, www.hizbut-tahrir.or.id).

Rabu, 18 November 2009

BEKAL UTAMA AKTIVIS DAKWAH

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنْ الْمُسْلِمِينَ . وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ . وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat: 33-35).

Ayat di atas merupakan bekal utama bagi para aktivis dakwah di jalan Allah (dai), agar selalu semangat dan istiqamah, tidak pernah gentar dan getir, senantiasa menjalankan tugasnya dengan tenang, tidak emosional dan seterusnya. Ayat tersebut diletakkan setelah sebelumnya di awal surat Fushshilat Allah menggambarkan sikap orang-orang yang tidak mau menerima ajaran Allah. “Mereka mengatakan: hati kami tertutup, (maka kami tidak bisa menerima) apa yang kamu serukan kepadanya, pun telinga kami tersumbat, lebih dari itu di antara kami dan kamu ada dinding pemisah.” (Fushshilat: 5). Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas dakwah jika yang dihadapi adalah orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran, tidak mau diajak kepada kebaikan, lebih dari itu ia menyerang, memusuhi dan melemparkan ancaman. Setiap disampaikan kepada mereka ajaran Allah, mereka menolaknya dengan segala cara, entah dengan menutup telinga, menutup mata, atau dengan mencari-cari alasan dan lain sebagainya.

Dakwah di jalan Allah adalah kebutuhan pokok manusia. Tanpa dakwah manusia akan tersesat jalan, jauh dari tujuan yang diinginkan Allah swt. Para rasul dan nabi yang Allah pilih dalam setiap fase adalah dalam rangka menegakkan risalah dakwah ini. Di dalam Al-Qur’an, Allah swt tidak pernah bosan mengulang-ulang seruan untuk bertakwa dan menjauhi jalan-jalan setan. Tetapi manusia tetap saja terlena dengan panggilan hawa nafsu. Terpedaya dengan indahnya dunia sehingga lupa kepada akhirat. Dalam surat Al-Infithaar ayat 6 Allah berfirman: yaa ayyuhal insaan maa gharraka birabbikal kariim? (wahai manusia apa yang membuat kamu terpedaya, sehingga kamu lupa terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah?)

Dalam ayat lain: kallaa bal tuhibbuunal aajilah watadzaruunal aakhirah (sekali-kali tidak, sungguh kamu masih mencintai dunia dan meninggalkan akhirat) (Al-Qiyaamah: 20-21). Perhatikan bagaimana pahit getir yang harus ditempuh para pejalan dakwah. Sampai kapan manusia harus terus terombang-ambing dalam gemerlap dunia yang menipu kalau tidak ada seorang pun yang bergerak untuk melakukan dakwah? Di sini tampak bahwa tugas dakwah pada hakikatnya bukan hanya tugas para dai, melainkan tugas semua manusia yang mengaku dirinya sebagai hamba Allah –tak perduli apa profesinya– lebih-lebih mereka yang telah meletakkan dirinya sebagai aktivis dakwah.

Karenanya, persoalan dakwah bukan persoalan nomor dua, melainkan persoalan pertama dan harus diutamakan di atas segala kepentingan. Bila kita mengaku mencintai Rasulullah saw., maka juga harus mengaku bahwa berjuang di jalan dakwah adalah segala-galanya. Karena Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak saja mengorbankan segala waktu dan hartanya bahkan jiwa raganya untuk dakwah kepada Allah. Bagi mereka rumah dan harta yang telah mereka bangun sekian lama di kota Makkah memang merupakan bagian dari kehidupan yang sangat mahal dan berharga. Tetapi mempertahankan iman dan menegakkan ajaran Allah di bumi adalah di atas semua itu. Karenanya mereka tidak pikir-pikir lagi untuk berhijrah dengan meninggalkan segala apa yang mereka miliki. Mereka benar-benar paham bahwa iman dan dakwah pasti menuntut pengorbanan. Karenanya dalam berbagai pertempuran para sahabat berlomba untuk melibatkan dirinya. Mereka merasa berdosa jika tidak ikut terlibat aktif. Tidak sedikit dari mereka yang telah gugur di medan tempur. Semua ini menggambarkan kesungguhan dan kejujuran mereka dalam menegakkan risalah dakwah yang taruhannya bukan hanya harta benda melainkan juga nyawa.

Dakwah Adalah Tugas Yang Sangat Mulia

Ayat di atas dibuka dengan pernyataan: waman ahsanu qawlan. Ustadz Sayyid Quthub ketika menfasirkan ayat ini berkata: “Kalimat-kalimat dakwah yang diucapkan sang dai adalah paling baiknya kalimat, ia berada pada barisan pertama di antara kalimat-kalimat yang baik yang mendaki ke langit.” (lihat fii dzilaalil qur’an, oleh Sayyid Quthub, vol.5, h. 3121). Kata waman ahsanu Allah ulang di beberapa tempat dalam Al-Qur’an untuk menegaskan tingginya kualitas beberapa hal: Pada surat An-Nisa ayat 125 Allah berfirman: waman ahsanu diinan mim man aslama wajhahahuu lillaah (siapakah yang lebih bagus agamanya dari pada orang yang menyerahkan diri kepada Allah). Dalam Al Maidah ayat 50: waman ahsanu minallahi hukman (siapa yang lebih bagus ajarannya dari pada ajaran Allah). Dan pada ayat di atas: Siapakah yang lebih bagus perkataannya dari pada perkataan para dai di jalan Allah? Perhatikan semua ayat-ayat tersebut secara seksama, betapa tugas dakwah sangat Allah muliakan. Peringkatnya sangat tinggi, setara dengan kualitas hukum Allah dan penyerahan diri kepadaNya secara total.

Adalah suatu keharusan seorang dai, menyerahkan hidupnya kepada Allah swt. Ia tidak kenal lelah menjalani tugas-tugas dakwah. Pun ia tidak mengharapkan keuntungan duniawi di baliknya, kecuali hanyalah ridhaNya. Dalam Surat Yasiin ayat 21 Allah berfirman: “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Toh kalaupun Allah membuka jalan rezeki baginya melalui jalan-jalan tak terduga “fadzaalika khairun ‘alaa khair“. Yang penting jangan sampai seorang dai orientasinya dunia. Sebab, bila seorang dai juga berorientasi dunia, kepada apa dia mau berdakwah, bukankah tema utama dakwah adalah ajakan untuk mempersiapkan diri menuju akhirat?

Berdakwah Dengan Amal

Ayat selanjutnya menegaskan pentingnya amal shalih: wa amila shaalihaa. Mengapa? Apa hubungannya dengan dakwah? Bahwa seorang dai jangan hanya ngomong saja, sementara perbuatannya jauh atau bahkan bertentangan dengan apa yang disampaikannya. Benar, bahwa perkataan dakwah adalah paling baiknya perkataan, tetapi itu kalau diikuti dengan amal shalih. Jika tidak, maka perkataan itu akan menjadi bumerang yang akan menyerang sang dai itu sendiri. Dalam Ash Shaf ayat 3 Allah berfirman: “Amat besar kebencian Allah, bila kamu hanya mengatakan tanpa mengerjakannya.”

Karenanya Rasulullah saw. tidak hanya berbicara, melainkan lebih dari itu seluruh perbuatannya merupakan contoh amal shalih. Allah swt. memberikan rekomendasi yang luar biasa dalam surat Al-Qalam ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu (Mumhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Imam Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan riwayat dari Aisyah ra.: bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an (lihat Tafsir Ibn Katsir, vol.4, h.629). Dalam hadits-hadits yang diriwayatkan para ulama tidak semua berupa ucapan Rasulullah saw., melainkan banyak sekali yang berupa cerita para sahabat mengenai perilaku dan sikap Rasulullah saw. Banyak sekali hadits-hadits yang berupa ucapan pendek, to the point, tidak bertele-tele, mudah dihafalkan. Suatu gambaran betapa keberhasilan dakwah Rasulullah saw. adalah karena setiap yang diucapkannya langsung ada contohnya dalam bentuk amal nyata dari sikap dan akhlaknya yang sangat mulia.

Menampilkan Diri Sebagai Seorang Muslim Adalah Dakwah

Di antara ciri utama berdakwah kepada Allah, tidak saja mengamalkan ajaranNya dan menjauhi segala yang dilarang melainkan lebih dari itu menampilkan diri sebagai seorang Muslim di manapun ia berada, Allah berfirman pada ayat berikutnya: wa qaala innanii minal muslimiin. Dengan kata lain tidak cukup seorang mengamalkan Islam hanya dengan shalat, membayar zakat dan menjalankan haji, sementara dalam hidup sehari-harinya tidak mencerminkan Islam, misalnya ia tidak merasa berdosa dengan mempertontonkan auratnya di mana-mana, bergandengan tangan dengan wanita bukan istrinya di depan banyak orang, melakukan kemaksiatan, kezhaliman, korupsi, judi, perzinaan dengan terang-terangan. Anehnya, dia merasa malu untuk menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya. Ia tidak merasa bangga sebagai seorang muslim. Bahkan Islam yang dipeluk digerogoti ajarannya sedikit demi sedikit, dengan sikap memperdebatkan prinsip-prinsipnya yang sudah baku, mencari-cari dalil untuk membangun keraguan terhadap kebenaran Islam.

Seorang aktivis dakwah sejati selalu bangga dengan identitasnya sebagai seorang muslim. Ia tidak takut menampilkan Islam sebagai pribadinya. Sungguh krisis umat Islam di mana-mana kini adalah krisis keberanian untuk menampilkan wajah Islam yang sebenarnya. Islam mengajarkan kedisiplinan, kebersihan, dan akhlak mulia, tetapi umat Islam di mana-mana selalu terkesan jorok, kotor dan beringas. Islam mengajarkan kejujuran, dan ketegasan dalam menegakkan hukum, tetapi penipuan dan korupsi justru merebak di tengah masyarakat yang mayoritasnya umat Islam. Mengapa ini semua terjadi? Bukankah orang-orang non-muslim sudah sedemikian jauh menampilkan dirinya sebagai bangsa yang bersih, disiplin dan lain sebagainya?

Benar, jika kemudian saya mendengar penyataan salah seorang muallaf : “Saya masuk Islam bukan karena umat Islam, melainkan karena kebenaran Islam. Seandainya umat Islam mampu menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya, niscaya mereka akan berbondong-bondong masuk Islam.” Bahkan ada ungkapan yang sangat terkenal dan diulang-ulang hampir dalam setiap seminar di dalam di luar negeri: al-Islam mahjuubun bil muslimiin (kebenaran Islam terhalang oleh orang-orang-orang Islam sendiri). Perhatikan realitasnya, apa yang sedang berlangsung dalam diri umat Islam di mana-mana. Ya, kalau tidak berperang di antara mereka sendiri, mereka dizhalimi oleh pemimpinnya sendiri yang mengaku muslim.

Karenanya menampilkan Islam secara jujur dalam diri sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dalam bermasyarakat dan dalam berbangsa dan bernegara adalah sebuah keniscayaan, dan menurut ayat di atas termasuk perbuatan yang sangat baik dan mulia. Oleh sebab itu pada ayat berikutnya Allah mengajarkan agar seorang dai selalu menyadari posisinya yang sangat mulia. Jangan sampai –karena suatu saat kelak menghadapi cobaan berupa munculnya orang-orang yang menolak dakwahnya dan lain sebagainya– ia kemudian emosional. Sehingga perkataannya lepas kontrol, lalu membalas cercaan mereka dengan cercaan. Atau lebih dari itu ia kemudian putus asa, lalu menjadi lesu dan patah arang. Akibatnya dakwah yang sangat Allah muliakan, ia lalaikan begitu saja.

Tidak, tidak demikian pribadi seorang aktivis dakwah. Seorang aktivis dakwah selalu menjiwai ayat ini: walaa tastawil hasanatu walas sayyi’ah. Benar, tidak akan pernah sama antara kebaikan dan keburukan. Kata-kata dakwah tetap lebih mulia dari kata-kata pencerca. Pertahankan kata-kata yang baik itu untuk terus menghiasi lidah sang dai. Jangan sampai terpengaruh emosi para pencerca lalu ditukar menjadi cercaan pula. Karenanya Allah ajarkan konsep: idfa’ billatii hiya ahsan, balaslah dengan ucapan yang lebih baik dan dengan cara yang lebih baik. Kata ahsan juga diulang pada ayat lain: wajadilhum billatii hiya ahsan, suatu sikap yang harus selalu menghiasi pribadi seorang dai setiap saat dan di manapun ia berada, lebih-lebih saat menghadapi penolakan, cercaan dan makian. Di saat seperti itu seorang dai, harus benar-benar tampil sempurna, bijak dan tenang. Mengapa? Sebab ia membawa misi Allah Yang Maha Perkasa. Maka ia harus selalu yakin dan percaya diri dengan posisinya. Tidak usah minder apalagi rendah diri.

Bahkan pada ayat selanjutnya Allah mengajarkan agar ia selalu tampil dengan penuh persahabatan, sekalipun mereka mencerca dengan penuh permusuhan. Perhatikan bagaimana Allah mengajarkan cara berdakwah yang efektif, di mana kemudian cara ini menjadi salah satu pilar utama dalam ilmu komunikasi modern. Setelah itu Allah menegaskan bahwa untuk itu semua seorang dai tidak cukup hanya dengan bermodal semangat, melainkan lebih dari itu harus mempunyai sifat sabar dan selalu memohon kepada Allah agar mendapatkan nasib yang baik, di dunia dan di akhirat. Tanpa sifat sabar dan doa untuk memperoleh nasib yang baik, segala proses akan menjadi sia-sia. Sebab segala kemenangan tidak akan pernah dicapai tanpa pertolonganNya.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Minggu, 15 November 2009

Wajah Asli Hantu Demokrasi

Demokrasi bukan lagi sebuah produk pemikiran, tapi sudah menjadi agama. Gagasan dan praktiknya dianggap tak pernah salah. Padahal?

Kejatuhan Rezim otoriter pimpinan Soeharto pada paruh kedua tahun 90-an, menandai kebangkitan era demokratisasi. Meski masih terseok-seok, laju gerbong demokrasi seakan tak terbendung. Bagaikan magnet sihir yang mempengaruhi pikiran, menarik simpati dan kekaguman manusia. Sehingga siapa saja yang gagap dengan demokrasi akan terlihat ketingalan zaman. Di tingkat internasional demokrasi bak pusaran angin yang mampu merobohkan Tembok Berlin dan menghancurkan tirai besi Uni Soviet, melompati tembok besar Cina dan mulai menembus barikade tirai bambu yang melindunginya. Demikianlah demokrasi telah telah membuat masyarakat gandrung kepadanya, meski sebenarnya tertipu. Dia bagaikan hantu yang menyaru seperti putri jelita.

Kebusukan Demokrasi
Demokrasi merupakan kata dan istilah Barat, yang digunakan untuk menunjukan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pertama kali dipraktekan di Yunani, kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat pasca renaisan, yang lahir dari kandungan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Demokrasi menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sekaligus pemilik kekuasaan. Artinya rakyat bebas untuk membuat aturan, memilih dan mengangkat penguasa untuk menjalankan aturanya.

Sekilas terlihat indah tetapi realitasnya utopis. Dalam sistem demokrasi saat ini, wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen diangap mewakili suara rakyat. Faktanya mereka bukan mewakili rakyat, tetapi justru mewakili aspirasi parpol dan para pemilik modal. Senator maupun presiden tidak mungkin berkampanye tanpa dukungan dana. Para pengusahalah yang menyediakan dana melalui sumbangan-sumbangan. Sebagai imbalannya senator terpilih harus mendukung keinginan pengusaha, atau paling tidak menjaga agar kepentngan pengusaha tetap aman. Misalnya pada kasus peraturan pengunaaan senjata api di AS, meskipun banyak yang menentang tetapi dewan AS masih tetap meberlakukan kebolehan pemilikan senjata api, sebab kuatnya pengaruh pengusaha pembuat senjata (VOA, 19 Maret, 2000).

Juga kasus kuota ekspor yang pernah diterapkan AS terhadap peroduk tertentu, karena dipandang mengancam industri dalam negeri AS. Ada juga skandal perusahaan minyak Enron, yang telah membantu? membantu para senator duduk di parlemen dan Bush di kursi Presiden, sebagai imbalanya mereka menciptakan suasana dengan peraturan yang menguntungkan Enron, yaitu suasana tanpa peraturan maupun kekhilafan, yang memungkinkan para pemimpin Enron mengambil keuntungan besar-besaran ketika perusahaan itu bangkrut. (Reinout van Wagtendonk, 5 Februari 2002). Atau perusahaan minyak Halliburton milik Wapres Dick Chenney, yang di kalangan banyak pengamat, ikut andil dalam menentukan kebijakan Bush menyerang Iraq dan Afghanistan. Upaya tersebut dilakukan meski hampir seluruh warga AS menentang.? Ini adalah fakta, yang menunjukan bahwa bukan rakyat yang membuat aturan, tetapi sebenarnya kaum kapitalislah yang berkuasa. Juga bukan suara mayoritas rakyat yang menentukan, tetapi justru suara minoritas; kaum kapitalis dan senatorlah yang menentukan kebijakan dan perundangan.

Prinsip persamaan hak dan kesetaraan gender, hanyalah omong kosong. Di usianya yang sudah mencapai 228 tahun, belum pernah dalam sejarah AS mempunyai presiden wanita. Hak pilih bagi perempuan bahkan baru diberikan 1869, di negara bagian Wyoming. Menyusul pada tahun 1914 sekitar 150 tahun setelah revolusinya, 12 negara bagian dari 50 negara bagian, perempuan memperoleh hak pilihnya. Pada 1920 sejumlah 34 negara bagian memberikan hak pilih bagi perempuan. Perbudakaan baru dihapus di masa presiden Abraham Lincoln (1861-1865). Perlakuan mereka terhadap bangsa Indian, diskriminasi terhadap suku Aborigin (oleh Australia), adalah contoh yang nyata bahwa persaaan hak dalam demokrasi adalah nonsense!

Demokrasi: Kejam!
AS dan negara demokratis yang lain giat melancarkan imperialisme yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Perancis dan Itali di Afrika, Ingris di Asia, Spanyol di Amerika Selatan, demikian juga AS di Pasifik termasuk Filipina, padahal jelas-jelas dalam demokrasi menyatakan adanya persamaan hak dan derajat. Yang lebih memalukan lagi adalah penandatanganan perjanjian rahasia AS-Inggris, yang berisi pengembalian kekuasaan Belanda di Indonesia, terjadi tak lama berselang setelah penandatanganan Piagam Atlantik. Dalam piagam itu tercantum bahwa tidak diperkenankan suatu bangsa menguasai bangsa lain, tanpa persetujuan bangsa yang bersangkutan. Tetapi mereka tanpa izin rakyat Indonesia, menjadikan Belanda menjajah Indonesia.

Kebebasan bertingkah laku, hanya berlaku bagi para amoral dan perusak tatanan kehidupan. Mereka meneriakan kebebasan unutk berperilaku liar ala binatang, mengumbar aurat dan ketelanjangan, sebagai bentuk ekspresi kebebasan bertingkah laku. Tetapi pada saat yang sama, mereka melarang menggunakan jilbab dan cadar bagi muslimah di Perancis.

Kebebasan berpendapat yang dilantunkan demokrasi, tak lebih dari lagu sumbang. Demokrasi tidak pernah mengizinkan ada pendapat yang bertentangan dengan pendapatnya, lebih-lebih pendapat yang bisa mengancam demokrasi itu sendiri.? Mereka menilai manusia harus diberi kebebasan menyampaikan pendapatnya, tetapi di saat yang sama aktivis yang ingin menegakkan syari’at Islam dan menentang demokrasi dicap sebagai teroris dan fundamentalis. Dalam kasus Iraq misalnya, Pemerintah AS, melalui penasehat keamanan Condoliza Rice mengancam media dalam negeri, agar menyiarkan berita yang menguntungkan pasukan AS saja, meski ditentang berbagai kalangan. Ketika Al-Jazeera menyiarkan tawanan perang Amerika Serikat, Panglima Pasukan Koalisi memperingatkan wartawan Al-Jazeera dan mengancam akan menutup siarannya.

Demokrasi Sekedar Alat
Dalam forum Internasional, AS untuk kesekian kali memveto resolusi PBB berkenaan dengan Israel, meskipun suara bulat menyetujui sanksi terhadap Isreal. Padahal dalam demokrasi fihak yang minoritas harus mengikuti suara mayoritas. Sikap membisu AS dan sekutunya terhadap pembatalan pemilu demokratis di Aljazair tahun 1991, atau pencopotan Nejamudin Erbakan dari perdana meteri oleh militer di Turki,? karena? peristiwa tersebut justru menguntungkan AS dan sekutunya, sebagai bukti bahwa tidak ada demokrasi untuk mencapai keinginanya. AS tak malu mendukung Islam Karimov, rezim Uzbekistan yang? jelas-jelas telah memenjarakan dan membunuhi aktivis Islam. Mendukung Sadam Husein ketika mengadapi Iran, untuk membendung meluasnya pengaruh revolusi Iran. Mendukung penguasa-penguasa di Timur Tengah, yang juga jelas-jelas otoriter.? Pendek kata, AS dan sekutunya akan melakukan apa saja termasuk melangar prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri selama kepentinganya bisa tercapai.

Gembar-gembor para penggagas demokrasi, justru menguak kenyataannya yang utopis. Demokrasi hanyalah sebuah kemustahilan, ide khayal yang tidak ada kenyataanya sama sekali. Bushcher seorang guru sejarah, pria 37 tahun kelahiran Iowa, Amerika Serikat mengatakan “Kedaulatan di tangan rakyat, artinya suara rakyatlah yang menentukan suatu aturan, adalah suatu kebohongan dari sistem? demokrasi. Bahkan oleh orang barat sendiri. Demokrasi adalah suara kencang orang-orang bermulut besar. Yunani di zaman Socrates ribuan tahun silam dan yang dianggap sebagai negara pertama pencetus gagasan demokrasi, juga tidak mewujudkan demokrasi seperti yang digembar-gemborkan orang. Malah filsuf tua itu harus dihukum mati dengan minum racun gara-gara melecehkan demokrasi sebagai utopia atau impian semata. Sebab, di negara kota atau polis dengan penduduk beberapa ribu orang, suara wanita dan orang-orang muda dikesampingkan, sedangkan keputusan dibuat berdasarkan nyaringnya suara orang-orang pongah bermuka tebal, yang lihai menghegemoni dan memprovokasi peserta musyawarah�

Jika faktanya demikian, seruan AS dan negara barat lainya hanyalah upaya untuk menghancurkan Islam, Demokrasi sekadar alat untuk menjauhkan kaum muslimin dari syari’at Islam, agar kaum muslimin jauh dari kebangkitan., dan menjaga agar tetap tidak berdaya menghadapi kekuatan mereka. Dengan demikian mereka bisa leluasa mengeruk kekayaan yang melimpah di bumi maum muslimin. Alangkah bodohnya kaum muslimin yang meneriakan demokrasi, sementara kenyataan demokrasi tidak pernah ada, bahkan tidak lebih dari sekedar alat untuk menguasai dan menancapkan kekuasaanya atas kaum muslimin. Lebih jauh lagi demokrasi juga bertentangan dengan aqidah Islam, aqidah? yang menjadikan Allah sebagai satu-satnya yang berhak membuat hukum. Memperjuangkan demokrasi merupakan upaya yang sia-sia, dilarang syari’at dan di akhirat akan dihisap. Bukan kebahagiann hidup yang akan diperoleh kaum muslimin melaikan kenestapaan dan kehinaan hidup dunia dan khirat.

Tiada jalan lain untuk memeproleh kebahagian bagi kaum muslimin, kecuali di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Khilafahlah yang akan mengayomi, membibing kita menuju kebahagiaan yang hakiki. Khilafah juga yang akan melindungi kita dari musuh-musuh Islam, juga dari pemikiran sesat semacam demokrasi. Hanya untuk Islamlah kita layak mencurahkan tenaga, fikiran, harta, jiwa dan raga kita. Semoga Allah mempercepat berdirinya, kemudian menguatkanya dan mengalahkan musuh-musuh Islam dan kaum musulimin. Wallohu �alam bishoawab [D. Saputra]

Sabtu, 14 November 2009

KH. Rahmat Abdullah, Dari Kuningan Sampai Bekasi
By array064

Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini, meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam.

Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang mesti ditanggungnya.

Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al Qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan sekolah dasar.

Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at.

Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III.

Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji bersamanya.

Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi orang-orang kaya zaman itu.

Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah Syafi’i.

Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk memberikan pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.

Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya.

Dari jerih payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66 atau sering disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak dan pikirannya sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari KH. Abdullah Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal.

Namun hal itu tak menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai senang melahap berbagai buku dan pemikiran Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto dan M. Natsir.

Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara. Rahmat pun mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode orasi yang ia ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan lantang penggugah jiwa.

Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran tapi sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa marah. Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan. Sebagaimana saat mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta kolega bisnisnya yang bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda malah menjawab, “Nabi saja bisa meleset janjinya.” Kontan mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari ruangan samping dan langsung berucap, “Nabi yang mana janjinya tidak tepat,” Kopasanda itu malah menjawab, “Anda ndak usah ikut campur dengan urusan ini.” Rahmat remaja langsung menyambut, “Suara Bapak terdengar di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang mana yang ingkar janji itu,” ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya Kopasanda itu minta maaf.

Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat Abdullah muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya disakiti jagoan Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat ditahan polisi.

Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan masjid Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia saat ini-. Di tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia pentaskan berjudul “Perang Yarmuk” yang tampil bersama Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan Suharto.

Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap KODIM. Namun Rahmat justru menjawab “Kalau yang memanggil Ibu, saya akan datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya,” ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling ‘memberangus’ sesama Muslim.

Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah, rupanya menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32.

Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H. (1984 M), bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang anak yang pernah menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di kelas II MTs. Saat itu Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk lomba praktik ibadah.

Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga Rahmat mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah saw, seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, “Itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan (Ramadhan) ini.” Akhirnya, disepakati untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadhan. “Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje,” ujar ustadz tadi. “Bah, ini rada-rada ketemu,” ujar Rahmat muda dalam hati.

Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, “Ini mau kemana sih?” Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung Periok, Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam. Pagi itu lelaki yang sudah mulai akrab dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam lainnya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Mendengar peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan untuk selalu membawa sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di Jawa. “Untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah,” ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu.

Setelah menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga lahir tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan Nusaibatul Hima (15).

Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya terus bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi acuan kalangan muda saat itu

Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka penyadaran akan Islam dan mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses berbagai informasi tanpa melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik, penceramah, Rahmat merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan digemari kalangan muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu harus dibredel di saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun pembredelan itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi dalam dakwah.

Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl. Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun 1993 bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang terletak di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.

Di sini pula ia menetap dan memboyong keluarganya dari kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga, Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa untuk berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik dan kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhrul Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di Iqro’.

Bahkan, kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun 1999 ia diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan. Demikian juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis.

Pada tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru dan pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen. Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai Islam.

Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang, namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi setiap kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia sampaikan kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana baru bagi para pemimpin negeri ini.

Bahkan jabatan terakhir sebagai Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia emban dengan penuh amanah dan luapan semangat hingga akhir hayatnya saat ia harus dijemput kematian sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan penghambaan pada sang Khalik, Selasa (14/6).

Sebuah harapan yang mungkin telah engkau ungkapkan sepekan sebelum dirimu meninggal. Dimana tidak biasanya dirimu ditegur isterimu ketika membuka album-album kenanganmu. “Lihat nih, orang Betawi kini telah keliling dunia, ke Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Amerika juga Makkah. Tinggal ke akheratnya saja yang belum,” ujarmu berseloroh yang kini telah kau buktikan.

Selamat jalan guruku, jejak langkah perjuanganmu akan kami teruskan.******

M Khoyyinudin

Tag: Bekasi, Kuningan, Rahmat Abdullah

Jumat, 13 November 2009


Haram Berdiam Diri Dari Menegakkan Khilafah Dengan Alasan Menunggu Imam Mahdi

Dalam kitab “Masâil Fiqhiyyah Mukhtârah”, cetakan kedua (2008), karya Syaikh Abu Iyas Mahmud Abdul Lathif bin Mahmud (Uwaidhah), terdapat jawaban atas pertanyaan seputar Imam Mahdi dan aktivitas untuk menegakkan Khilafah. Mengingat pentingnya masalah ini, maka tulisan ini kami persembahkan kepada para pengunjung situs agar semua dapat mengambil faedah darinya, in sya’ Allah, jika Allah SWT berkehendak.

Pertanyaannya: Tidak sedikit di antara kaum Muslim—khususnya mereka yang masih kental dengan kehidupan beragama—yang menyakini bahwa Khilafah akan kembali tegak. Dan Khilafah yang akan tegak kembali itu adalah Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwah, Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian, yang mereka maksudkan dengan itu adalah Khilafah Rasyidah. Namun, aku tidak melihat mereka itu melakukan aktivitas untuk menegakkan Khilafah ini. Apabila mereka ditanya tentang alasan mengapa mereka berdiam diri (tidak melakukan) aktivitas menegakkan Khilafah, maka mereka menjawab bahwa Imam Mahdi-lah kelak yang akan menegakkannya. Dan sebelum datangnya Imam Mahdi, Khilafah tidak akan pernah tegak. Oleh karena itu, tidak perlu menyeru mereka untuk beraktivitas menegakkan Khilafah. Sehingga, pertanyaannya: Apakah Khilafah akan tegak secara nyata; dan apakah Imam Mahdi yang akan menegakkannya?

Jawab: Sesungguhnya pernyataan bahwa Khilafah akan tegak adalah pernyataan yang benar, yang ditunjukkan oleh banyak sekali hadits dari Nabi SAW, dan hadits-hadits itu semuanya shahih atau hasan. Mengingat, hadits-hadits itu tidak ada yang mutawatir, maka masalah ini tidak boleh dijadikan sebagai sebuah keyakinan. Sehingga, pernyataan bahwa kaum Muslim meyakini bahwa Khilafah akan tegak adalah pernyataan yang tidak benar. Sebab, keyakinan itu harus dibangun berdasarkan ayat Al-Qur’an atau hadits mutawatir. Sementara berdirinya Khilafah terdapat dalam hadits-hadits shahih dan hasan, bukan hadits mutawatir. Sehingga, tidak boleh menjadikan berdirinya kembali Khilafah sebagai sebuah keyakinan. Namun, kami membenarkan akan berdirinya kembali Khilafah dengan pembenaran yang tidak pasti; kami katakan bahwa Khilafah akan tegak kembali dengan izin Allah. Berikut ini hadits-hadits terkait masalah tersebut:

Pertama. Dari Sauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Bersabda Rasulullah SAW:

إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا

“Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan (memperlihatkan) bumi kepadaku. Sehingga, aku melihat bumi mulai dari ujung Timur hingga ujung Barat. Dan umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku….” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

Sabda beliau, “umatku, kekuasaannya akan meliputi bumi yang telah dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku” belum terrealisasikan hingga sekarang. Sebab, kaum Muslim belum pernah menguasai bumi mulai ujung Timur hingga ujung Barat hingga sekarang. Dan ini akan terjadi di masa yang akan datang. Sehingga ini menjadi isyarat akan berdirinya negara bagi kaum Muslim yang akan menaklukkan bumi mulai dari ujung Timur bumi hingga ujung Baratnya.

Kedua. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

”Jika kalian telah berjual-beli dengan cara ’înah (penjualan secara kredit dengan tambahan harga); dan kalian telah mengambil ekor sapi, lalu kalian (lebih) suka bertani, hingga kalian meninggalkan jihad, maka (ketika itu) Allah menimpakan kepada kalian kehinaan, Allah tidak akan mecabutnya sampai kalian kembali ke agama kalian.” (HR. Abu Dawud)

Sabda beliau, ”sampai kalian kembali ke agama kalian” artinya adalah sampai kalian kembali melaksanakan ajaran agama, dan menerapkannya untuk semua urusan kehidupan kalian. Dengan demikian, hadits ini merupakan bisyârah (kabar gembira) dari Rasulullah SAW bahwa kaum Muslim akan kembali lagi menerapkan agamanya secara kâffah, menyeluruh, setelah sebelumnya mereka meninggalkannya.

Ketiga. Dari Abu Qabil yang berkata: Kami berada di sisi Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ’anhu. Lalu, ia ditanya tentang manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma. Kemudian ia mengambil kotak yang ada hiasannya, ia mengeluarkan surat dari katak tersebut, ia berkata: Abdullah Berkata, ”Pada saat kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba Rasulullah SAW ditanya, manakah di antara dua kota yang akan ditaklukkan pertama, Konstantinopel atau Roma. Rasulullah SAW bersabda:

مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ

”Kota Heraklius yang akan ditaklukkan pertama—yakni Konstantinopel.” (HR. Ahmad)

Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang penaklukkan dua kota, Konstantinopel dan Rumiyah—yaitu Roma ibu kota Italia—beliau tidak menafikan (membantah) penaklukkan Roma. Namun beliau hanya mengatakan bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan pertama. Ini menunjukkan bahwa Roma akan ditaklukkan setelahnya. Sementara hingga saat ini, Roma belum ditaklukkan oleh kaum Muslim. Dengan demikian, hadits ini merupakan bisyârah (kabar gembira), bahwa kaum Muslim akan menaklukkan ibu kota Italia tersebut. Dan tidak terbayangkan bahwa kaum Muslim akan menaklukkannya sebelum kembalinya Khilafah yang menghidupkan kembali jihad di jalan Allah dan penaklukkan kota (melakukan futuhat).

Keempat. Dari Nu’man bin Basyir, dari Hudzaifah radhiyallahu ’anhu berkata: Rasulullah SAW bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

“Akan ada fase kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase Khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudia akan ada fase penguasa yang zalim. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Selanjutnya akan datang kembali Khilafah berdasarkan metode kenabian. Kemudian belia SAW diam.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani)

Hadits ini menjelaskan bahwa Khilafah akan tegak kembali setelah fase penguasa yang zalim (mulkan ’adhan), dan fase penguasa diktator (mulkan jabariyan). Dan Khilafah yang akan tegak itu adalah Khilafah ‘ala minhaji an-nubuwah, Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian, yakni Khilafah yang menilai dirinya seperti Khilafah pada masa Khulafaur Rasyidin. Sehingga dengan izin Allah, Khilafah yang akan tegak adalah Khilafah Rasyidah. Inilah jawaban untuk pertanyaan masalah pertama. Sedangkan jawaban untuk pertanyaan masalah kedua adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya, sekalipun hadits-hadits an-nabawiyah asy-syarîfah menyebutkan bahwa Al-Mahdi akan menegakkan Khilafah, maka hal ini tidak menunjukkan bahwa kaum Muslim wajin menunggu Al-Mahdi sampai Al-Mahdi mendirikan Khilafah untuk mereka. Apa yang diwajibkan atas mereka tetap wajib, yaitu menegakkan Khilafah. Menegakkan Khilafah di samping wajib atas Al-Mahdi, wajib pula atas kaum Muslim selain dia. Sehingga, mereka yang masih kental dengan kehidupan beragama, seperti yang digambarkannya, tidak punya hujjah (alasan) yang dapat mereka jadikan dasar untuk berdiam diri, tidak beraktivitas untuk menegakkan Khilafah, hanya dengan mengajukan pernyataan bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah, sebagaimana hal itu tampak dengan jelas. Oleh karena itu, mereka yang masih beragama, namun berdiam diri, tidak beraktivitas menegakkan Khilafah, maka mereka berdosa, akibat sikapnya yang berdiam diri, tidak berbuat apa-apa, dan Allah juga akan meminta pertanggungjawaban mereka atas sikap diamnya ini. Konsekwensinya, jika mereka mati sebelum tegaknya Khilafah, maka ia mati seperti matinya kaum jahiliyah (mati dalam keadaan berdosa). Sebab, ada riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhu yang berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa saja yang melepaskan ketaatan, maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang meninggal sedang di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah (dalam keadaan berdosa).” (HR. Muslim).

Sementara itu, orang yang selamat dari mati jahiliyah adalah orang-orang yang beraktivitas menegakkan Khilafah. Oleh karena itu, wahai orang-orang yang masih beragama waspadalah agar jangan sampai kalian mati jahiliyah, yang tentu kalian tidak menginginkannya. Ini yang pertama.

Kedua, sesungguhnya hadits-hadits an-nabawiyah asy-syarîfah tidak secara mutlak menyebutkan bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah, karena banyak sekali hadits yang meriwayatkannya. Sedangkan, masing-masing hadits yang disebutkan semuanya menunjukkan bahwa Al-Mahdi adalah seorang Khalifah yang baik dan memerintah dengan adil. Misalnya sabda Rasulullah SAW:

الْمَهْدِيُّ مِنِّي أَجْلَى الْجَبْهَةِ أَقْنَى اْلأَنْفِ يَمَْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جَوْرًا وَظُلْمًا يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِينَ

“Al-Mahdi itu dari keturunanku, wajahnya tampan, dan hidungnya mancung. Ia akan memenuhi bumi dengan kebaikan dan keadilan. Dimana sebelumnya, bumi dipenuhi dengan kekejaman dan ketidak adilan. Dan ia berkuasa selama tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud)

Sehingga, dalam hal ini, nama nash yang mereka jadikan dalil bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah? Justru kami memiliki nash yang menolak pemahaman bahwa Al-Mahdi yang akan menegakkan Khilafah. Dan nash ini menjelaskan bahwa Al-Mahdi akan menjadi Khalifah setelah meninggalnya Khalifah sebelumnya. Sehingga, ini menegaskan bahwa Khilafah akan tegak sebelum Al-Mahdi menjadi Khalifah. Al-Mahdi adalah Khalifah yang menggantikan Khalifah sebelumnya dalam daulah Khilafah Rasyidah yang—tidak lama lagi—akan datang (berdiri) dengan izin Allah. Sekali lagi, ini menegaskan bahwa Al-Mahdi bukan orang yang menegakkan Khilafah. Dengan begitu, gugurlah hujjah (alasan) mereka untuk berdiam diri, tidak beraktivitas, dan hanya menunggu Al-Mahdi, yang menurut klaim mereka bahwa Al-Mahdi inilah yang akan menegakkan Khilafah untuk mereka.

Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ’anha berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

يَكُونُ اخْتِلافٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَيٌّاتِي مَكَّةَ، فَيَسْتَخْرِجُهُ النَّاسُ مِنْ بَيْتِهِ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالمَقَامِ، فَيُجَهَّزُ إليهِ جَيْش مِنَ الشَّامِ حَتَّى إذَا كَانُوا بالبَيْدَاءِ خُسِفَ بِهِمْ، فَيَأتِيْهِ عَصَائِبُ العِرَاقِ وأبْدَالُ الشَّامِ: ويَنْشئا رَجُلٌ بالشَّامِ أَخْوالُهُ مِنْ كَلْبٍ، فَيُجَهَّزُ إليهِ جَيْش، فَيَهْزِمُهُمُ الله، فَتَكُونُ الدَّائِرَةُ عَلَيْهِمْ، فَذَلِكَ يَوْمُ كَلْبٍ، الخَائِبُ مَنْ خَابَ مِنْ غَنِيْمَةِ كَلْبٍ، فَيَسْتَفْتِحُ الكُنُوزَ، وَيَقْسِمُ أَلامْوَالَ وَيُلْقِي إلاسْلاَمُ بِجَرَانِهِ ِإلى أَلارْضِ، فَيَعِيْشُونَ بِذَلِكَ سَبْعَ سِنينَ أو قال: تِسْعَ.

“Terjadi perselisihan ketika meninggalnya seorang Khalifah. Kemudian, seorang dari Bani Hasyim (Al-Mahdi) keluar pergi ke Makkah. Masyarakat membawanya (Al-Mahdi) keluar rumah menuju antara ar-rukn (hajar aswad) dan al-maqâm (maqam Ibrahim ‘alaihissalam). Sementara, dari Syam telah disiapkan pasukan untuk menyerangnya, namun ketika mereka berada di al-Baida’ (sebuah tempat antara Makkah dan Madinah), mereka semua ditenggelamkan (oleh Allah). (Melihat karamahnya itu), beberapa kelompok dari Irak, dan para wali (Abdal) dari Syam mendatanginya (untuk berbaiat). Seseorang di Syam yang ibunya dari Bani Kalb, menyiapkan pasukan untuk menyerangnya, kemudian Allah-pun mengalahkan mereka, sehingga bencana pun menimpa mereka, maka hari itu merupakan hari kekalahan bagi Bani Kalb. Bahkan, orang yang menyesal adalah orang yang tidak berhasil mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) Bani Kalb. Kemudian, ia (Al-Mahdi) membuka berbagai harta simpanan, membagi-bagi harta, menyampaikan (mendakwahkan) Islam ke wilayah-wilayah sekitarnya. Masyarakat hidup bersama (Al-Mahdi) itu selama tujuh tahun, atau sembilan tahun.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, Al-Haitsami menyebutnya dalam Majma’uz Zawâij, ia berkata “semuanya rawinya adalah para rawi yang shahih).

Hadits ini disepakati oleh para rawi hadits dan pensyarahnya bahwa Khalifah yang dimaksud dalam hadits ini adalah Al-Mahdi (Imam Mahdi). Hadits ini merupakan nash yang sharîh (gamblang) bahwa Khalifah (Imam Mahdi) ini datang menggantikan Khalifah sebelumnya, “Terjadi perselisihan ketika meninggalnya seorang Khalifah. Kemudian, seorang dari….” Dengan demikian, Imam Mahdi bukan orang yang akan menegakkan Khilafah, dan ia juga bukan Khalifah pertama dalam negara Khilafah Rasyidah—yang tidak lama lagi—akan tegak dengan izin Allah. Sehingga yang tersisa di depan setiap orang Muslim adalah kekhawatiran dan ketakutan dari mati jahiliyah, mati dalam keadaan berdosa. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, selain bangkit dengan penuh semangat beraktivitas untuk menegakkan kembali Khilafah, dan mengangkat seorang Khalifah. Wallahu a’lam bish-shawab.(www. http://www.al-aqsa.org)