Kamis, 19 November 2009

Menjawab Keraguan Khilafah

Sejumlah kecaman, tuduhan, dan fitnahan telah dilontarkan oleh kaum sekular untuk menyerang konsep Khilafah. Jika ditelaah dengan cermat dan saksama, berbagai tuduhan itu menyiratkan 3 (tiga) hal penting:

Pertama, paradigma yang melandasi bermacam tuduhan itu adalah sekularisme, bukan yang lain. Kedua, berbagai tuduhan itu secara implisit telah menggunakan perspektif nilai-nilai Barat dan didasarkan pada pengalaman historis Barat. Manakala ketiga, seringkali tuduhan itu menunjukkan bahawa penuduhnya tidak memahami persoalan, atau memang sengaja melakukan disinformasi untuk kepentingan penyesatan.

Sesungguhnya berbagai tuduhan itu akan gugur dengan sendirinya setelah kita tahu bahawa bahawa paradigmanya (iaitu sekularisme) adalah paradigma yang keliru dan sesat. Berbagai tuduhan itu dapat diumpamakan cabang dan ranting pohon yang berasal dari akar yang sama. Jika akarnya telah tercabut dari tanah, maka seluruh bahagian pohon tidak akan boleh berdiri tegak dan akan roboh dengan sendirinya. Firman Allah SWT:

“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Qs. Ibrahim [14]: 26).

Berikut ini beberapa tuduhan terhadap Khilafah yang berasal dari berbagai sumber, terutama www.islamlib.com, dan juga jawabannya dari berbagai sumber, terutama www.hizbut-tahrir.or.id:

Tuduhan 1: Khilafah itu khayalan dan absurd, kerana mengandaikan satu payung politik untuk negeri-negeri muslim di seluruh dunia.


Jawaban: (1) Kalau mewujudkan Khilafah dikatakan sulit, memang benar. Kalau khayalan, tidak. Menggunakan kata “khayalan” untuk sesuatu yang masih mungkin, adalah suatu kesalahan. Sebab khayalan itu ertinya adalah cita-cita yang yang tak mungkin tercapai (Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1982:1139). Khayalan berasal dari kata utopia yang awalnya adalah judul buku penulis Inggeris Thomas More (1478-1535) yang terbit tahun 1516 (Ebenstein & Fogelman, 1994:208). Isinya menjelaskan suatu negara yang serba indah dan baik, yang hanya ada dalam angan-angan (W. Surya Endra, Kamus Politik, hal. 323).

Jawaban: (2) Khilafah yang merupakan satu negara untuk seluruh kaum muslimin di dunia, pembentukannya tentu tidak serta merta dan dalam satu waktu. Kalau ini jelas tak mungkin dan suatu hil yang mustahal. Caranya, menurut Syaikh an-Nabhani, adalah dengan lebih dulu mendirikan Khilafah di sebuah negeri muslim di Dunia Islam, lalu Khilafah itu terus berkembang untuk memperluas wilayahnya dengan menyatukan negeri-negeri Islam lainnya (An-Nabhani, at-Takattul al-Hizbi, 2001:6-7).

Ini tidak mustahil, sebab dulu Rasul pun lebih dulu mendirikan Dawlah Islamiyah hanya sebatas kota Madinah. Tapi saat beliau wafat, wilayah Islam telah meluas meliputi seluruh jazirah Arab, yang kini meliputi Arab Saudi, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain, dan UAE. Perluasan wilayah Islam terus dilanjutkan para khalifah sesudahnya hingga wilayah kekuasaan kekhilafahan meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropah.

Jawaban: (3) Banyak ayat dan hadis yang menjangkakan kembalinya Khilafah. Misalkan Qs. an-Nûr [24]: 55, dan hadis Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat Imam Ahmad dan al-Bazzar bahawa setelah masa Nubuwwah, ada fasa Khilafah Rasyidah, lalu mulkan ‘adhan (kekuasaan yang menggigit), mulkan jabriyan (kekuasaan yang memaksa), dan setelahnya akan muncul lagi Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.

Tuduhan 2: Khilafah tidak popular dan feasible (layak), kerana bertentangan dengan konsep negara bangsa (nation state) yang disepakati semua manusia moden.


Jawaban: (1) Kalau pun konsep negara bangsa telah disepakati semua manusia, bukan bererti konsep itu benar dalam pandangan Islam. Sebaliknya, sesuatu yang tidak disukai oleh seluruh manusia, belum tentu merupakan kekeliruan dalam Islam (lihat Qs. Al-Baqarah [2]: 216). Siapa yang boleh menjamin bahawa sesuatu yang disepakati seluruh manusia adalah suatu kebenaran yang tidak boleh dibantah? Bahkan Allah SWT berfirman:

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Qs. al-An’âm [6]: 116).

Jawaban: (2) Format Dunia Islam yang kini terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan konsep negara bangsa, adalah hasil ciptaan penjajah kafir. Terutama pasca Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Keadaan ini sungguh bertentangan dengan ajaran Islam dari al-Qur’an, al-Hadis, dan Ijma’ Sahabat yang mewajibkan persatuan umat di bawah satu negara. Firman Allah SWT:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai.” (Qs. Ali-Imran [3]: 103).

Sabda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR Muslim].

Dalam kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, juz V, hal. 416 disebutkan, “Para imam yang empat sepakat.. bahawa kaum muslimin tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dua mempunyai dua imam (khalifah), baik keduanya sepakat atau bertentangan.”

Jadi, mendukung konsep negara bangsa ertinya adalah mendukung terpecah belahnya umat Islam. Itu adalah dukungan terhadap hegemoni dan dominasi kaum penjajah yang kafir.

Jawaban: (3) Menyatukan umat Islam memang berat, tapi bukan khayalan. Masalahnya terletak pada kesedaran umat untuk bersatu dalam sebuah visi dan misi kenegaraan yang diyakininya. Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa boleh bersatu kerana meyakini visi dan misi yang sama yakni nasionalisme Indonesia.

Sebaliknya disintegrasi boleh terjadi kalau masyarakat tidak lagi satu visi seperti terjadi saat lepasnya Timor Timur dan runtuhnya Negara komunis. Demikian halnya umat Islam sekarang. Kalau muncul kesedaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka dibawah naungan Daulah Khilafah, pastilah mereka akan bersatu.

Dan ini bukan khayalan kerana Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan KeKhilafahan berikutnya berhasil menyatukan ini. Apalagi dengan kecanggihan teknologi global saat ini pasti menolong persatuan umat Islam sedunia (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah: Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id).

Tuduhan 3: Khilafah telah gagal dan tidak berjalan sempurna, kerana terbukti 3 khalifahnya dalam Khilafah Rasyidah (Umar, Ali, Utsman) mati terbunuh.


Jawaban: (1) Cara mengukur gagal tidaknya sebuah negara yang melaksanakan ideologi tertentu, adalah dengan mengukur dari segi fikrah (konsep) dan thariqah (metod pelaksanaan konsep). Bukan dengan melihat sejauh mana kelangsungan hidup kepala negaranya dari ancaman pembunuhan.

Dengan kata lain, berhasil tidaknya negara ideologis diukur dari segi konseptual dan praktikalnya, iaitu sejauh mana negara itu mempunyai dan memahami konsep hidup yang sahih, dan sejauh mana negara itu beramal menggunapakai konsep itu untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang telah digariskan dalam konsep idealnya. Itulah cara mengukur keberhasilan negara, bukan diukur hanya dengan cara melihat sejauh mana keselamatan jiwa kepala negaranya. Itu terlalu naif.

Jawaban: (2) Tuduhan itu terlampau umum (over generalization) dan dangkal (over simplification), seakan-akan sejarah kekhilafahan Islam semuanya penuh dengan darah dan konflik. Apakah kita akan menutup mata terhadap kemajuan dan peradaban Islam di masa kekhilafahan Abbasiyah pada tahun 700 – 1400 M?

Kita semestinya menghindari generalisasi masyarakat dari sejarah perorangan. Seakan-akan seluruh masa pemerintahan Bani Umayyah adalah gelap dengan hanya memfokuskan pada sejarah Yazid saja. Kemudian kita menutup diri dari kemajuan yang dicapai oleh Bani Umayyah.

Jawaban: (3) Keliru pula menyimpulkan bahawa kerana ada pembunuhan terhadap kepala negara bererti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal semestinya kita mesti meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi kerana ketidakmampuan sistem idealnya atau kerana penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru kerana menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan kerana akibat penerapan syariat Islam itu sendiri.

Jawaban: (4) Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang sering digelar sebagai ‘juara’ demokrasi pernah mengalami Perang Saudara yang berdarah-darah pada abad ke-19. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala negara menjadi soroton, apakah AS sepi dari hal itu? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Abraham Lincoln, pembunuhan John F. Kennedy, percubaan pembunuhan terhadap Ronald Reagan dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya? Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah.

Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, juga penuh dengan pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini. Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam bukunya From Voting to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (Jakarta: KPG, 2003). Apakah ini dengan sederhana dijadikan kenyataan sejarahnya ini menjadi argumentasi untuk menolak sistem ideal demokrasi? (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah: Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id).

Tuduhan 4: Khilafah hanya mungkin diterapkan dalam wilayah geografi sempit dengan komuniti politik yang relatif seragam.


Jawaban: (1) Untuk menjawabnya, cukup pihak penuduh disedarkan, bahawa dia tidak faham fakta sejarah. Apakah kita menutup mata bagaimana wilayah kekuasaan kekhilafahan yang meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropah? Untuk perbandingan sederhana saja, negara Islam yang berpusat di Madinah saat Rasulllah Sallallahu ‘alaihi wa sallam wafat saja wilayahnya telah meliputi jazirah Arab yang kini meliputi kurang dari 7 negara bangsa (Arab Saudi, Yaman, Emiriah Arab Bersatu, Qatar, Oman, Bahrain). Ini bererti empat kali luas gabungan negara Perancis dan Jerman.Apalagi kalau dibandingkan dengan negara kecil seperti Singapura, Swiss, Brunai. Apakah kita masih mengatakan wilayah geografik terbatas terbatas?

Jawaban: (2) Masalah homogeniti, juga terjadi kekeliruan pada pihak penuduh. Di Madinah saja, sebagai pusat negara Islam yang pertama, penduduknya sangat heteregon: terdiri dari berbagai kabilah, suku, termasuk terdapat komuniti Yahudi. Saat kekhilafahan meluas, di Mesir, Iraq, Iran, Syiria, Sepanyol terdapat komuniti Kristian, Yahudi, pemeluk keyakinan Zoroaster dan lainnya. Argumentasi keadaan faktual umat Islam sekarang yang tersebar dalam begitu banyak negara dengan beragam karakter dan kepentingan politik yang berbeza juga lemah untuk menolak keberadaan Khilafah.

Perlu diketahui di masa Rasulullah juga terdapat banyak kabilah dengan berbagai karakter dan kepentingan politik yang berbeza, tapi Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menyatukannya dengan menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka berdasarkan Islam (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah: Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id).

Tuduhan 5: Khilafah bukan sebuah bentuk kekuasaan yang diwajibkan agama, tapi hanya ijtihad politik sahabat sepeninggal Nabi, terbukti dari tidak adanya sistem pengangkatan khalifah yang baku antara Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.


Jawaban: (1) Benar, bahawa tidak ada tatacara teknik yang baku dalam pengangkatan khalifah. Tapi menyimpulkan tidak adanya sistem pemerintahan Islam dari kenyataan itu jelas sangat gegabah. Sebab, yang berbeza hanyalah tatacara teknik pembai’atan (uslub ba’iah), bukan metod pengangkatan khalifah (thariqah nashb al-khalifah), iaitu bai’at.

Jadi, mesti dibezakan antara bai’at (sebagai metod yang baku), dengan prosedur teknik sebelum bai’at yang boleh berubah-ubah. Semua khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) menjadi khalifah hanya dengan bai’at. Tidak ada metod lain. Tidak ada yang tanpa bai’at. Yang berbeza hanyalah prosedur teknik yang ditempoh sebelum bai’at dilakukan. Abu Bakar dibai’at oleh umat dari hasil syura di Saqifah Bani Saidah.

Umar dibai’at oleh umat, setelah sebelumnya dicalonkan oleh Abu Bakar berdasarkan mandat umat kepada Abu Bakar. Utsman dibai’at oleh umat setelah Umar (atas mandat umat) membentuk komisi pemilihan khalifah yang bertugas memilih satu khalifah di antara mereka. Ali dibai’at oleh umat setelah Utsman wafat dan muncul dukungan dan tuntutan langsung dari umat untuk membai’at Ali (Syaikh Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hal. 72-85).

Jawaban: (2) Khilafah bukanlah ijtihad sahabat, melainkan Ijma’ Sahabat. Jika benar Khilafah ijtihad sahabat, nescaya Khilafah tidak mengikat dan para sahabat pun akan ada yang berbeza pendapat, iaitu ada yang tidak mewajibkan Khilafah. Kenyataannya, tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menolak wajibnya Khilafah. Yang ada hanyalah perbezaan pendapat, apakah si A atau si B yang akan menjadi khalifah. Bukan perbezaan pendapat Khilafah itu wajib atau tidak.

Walhasil, kenyataannya, dan yang terjadi, Khilafah itu didasarkan pada kesepakatan semua sahabat (ijma’ sahabat), bukan ijtihad sahabat. Padahal Ijma’ Sahabat adalah sumber hukum syariah (dalil syar’i) ketiga setelah al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun fakta sejarah yang terjadi setelah masa sahabat, tidak mempunyai nilai sedikit pun dalam penetapan hukum syara’. Sebab kenyataan sejarah bukanlah sumber hukum.

Jadi, andaikan setelah Khilafah Rasyidah terjadi proses pewarisan turun temurun dalam Khilafah Bani Umayyah dan Abbasiyah, maka itu hanya sekadar fakta, bukan suatu dalil syar’i. Andaikata saja setelah Khilafah Rasyidah sistem pemerintahan berganti menjadi selain Khilafah (ini andaikata saja), bukan bererti sistem selain Khilafah itu lantas boleh menurut syariah. Itu hanya fakta sejarah, bukan sumber hukum.

Tuduhan 6: Khilafah dalam sejarah itu despotik (sewenang-wenang) dan tidak boleh dimintai pertanggungjawaban, kerana khalifahnya adalah wakil Tuhan di muka bumi.


Jawaban: (1) Tuduhan bahawa dalam sistem Khilafah tidak ada mekanisme kritik dan pertanggungjawaban menunjukkan penuduh tidak mengerti tentang sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah, kritik bukan hanya boleh bahkan ia telah menjadi bahagian yang sangat penting dalam kehidupan politik dan pemerintahan Islam. Mekanisme kritik ada 3 (tiga):

Pertama, boleh dilakukan secara individual oleh setiap muslim. Tidak kurang Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mendapatkan kritik dari para sahabat-sahabatnya berkaitan dengan polisinya dalam perjanjian Hudaibiyah yang dinilai terlalu menguntungkan kafir Quraisy. Khalifah Abu Bakar juga pernah secara langsung dikritik oleh Umar bin Khatab dalam polisinya memerangi orang yang tidak mahu membayar zakat.

Sementara, saat menjadi khalifah, Umar bin Khatab juga tidak sepi dari kritik. Di antaranya bahkan datang dari sekelompok wanita yang memprotes polisi Umar dalam membatasi jumlah mahar maksimal 400 dirham. Umar menerima kritik itu seraya mengatakan, “Wanita itu benar, Umar salah”.

Kedua, kritik juga boleh dilakukan melalui wakil rakyat (majlis al-ummah) yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sistem Khilafah, anggota majlis ummah berhak secara langsung mengkritik khalifah berkaitan dengan keputusan atau polisinya yang dinilai tidak tepat dan merugikan rakyat.

Ketiga, rakyat yang tidak puas terhadap polisi khalifah boleh mengajukannya ke Mahkamah Madzhalim, yakni sebuah pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (khalifah). Tentu saja khalifah mesti tunduk kepada keputusan mahkamah ini.

Jawaban: (2) Muncul pertanyaan, bagaimana kalau khalifah tidak mahu mendengar kritik rakyatnya dan tidak pula mahu menta’ati keputusan pengadilan? Apakah rakyat boleh turun tangan secara langsung? Jawabnya, boleh kerana rakyat adalah pemilik kekuasaan. Rakyat boleh turun tangan secara langsung untuk menjatuhkan khalifah setelah terbukti bahawa khalifah menyimpang dari syariat Islam.

Bahkan kalau penyimpangan yang dilakukan oleh khalifah sampai pada batas yang menunjukkan penentangannya secara nyata terhadap syariat Islam, rakyat boleh angkat senjata (menggunakan kekerasan) untuk menjatuhkan khalifah. Soal ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah, dan Rasul menjawab tegas boleh bila memang khalifah tersebut telah menunjukkan kekufuran yang nyata (kufran bawahan).

Jawaban: (3) Jadi jelaslah bahawa dalam sistem Khilafah terdapat mekanisme yang sangat jelas tentang bagaimana cara mengkoreksi penguasa. Namun, memang mesti diakui pelaksanaan syariah Islam di masa pemerintahan keKhilafahan pada kenyataannya tidaklah selalu berjalan mulus.

Ini tidak lepas dari kenyataan bahawa sistem pemerintahan Khilafah adalah sistem manusiawi (basyariah), yang bagaimana pun tetap dijalankan oleh manusia biasa yang boleh keliru atau menyimpang. Bukan oleh para malaikat atau orang yang maksum (infallible). Oleh kerana itu, penting untuk diingat bahawa menilai sistem Khilafah hanya didasarkan pada adanya penyimpangan praktek sistem ini di masa lalu tidaklah tepat, tapi mestilah merujuk kepada sumber idea dan hukumnya yakni al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Sistem politik apapun, selama masih dijalankan oleh manusia sangat mungkin menyimpang. Demikian juga dengan sistem Khilafah. Kerana itulah dalam sistem Khilafah ada kewajiban mengkritik agar penguasa ini tidak menyimpang. Menyimpulkan bagaimana sistem Khilafah hanya berdasarkan penyimpangan pelaksanannya di masa lalu seperti yang dilakukan oleh penuduh jelas akan menyebabkan kekeliruan dalam melihat bagaimana sistem Khilafah ini sesungguhnya. Kecuali kalau itu memang sengaja dilakukan untuk maksud tertentu.

Jawaban: (4) Penuduh telah menggunakan perspektif Barat bahawa Khilafah adalah sistem teokrasi, di mana raja adalah wakil tuhan di bumi. Padahal sistem Khilafah sangat berbeza dengan sistem teokrasi yang dijelaskan di atas. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pengasas Hizbut Tahrir, dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi al-Islam (sistem pemerintah Islam) memberikan gambaran yang jernih tentang perbezaan antara sistem khilafah dan sistem teokrasi.

Sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, membezakan antara kedaulatan (al-siyadah) dan kekuasaan (al-sultan). Dalam sistem khilafah, kedaulatan (al-siyadah) memang ditangan syaari’ (pembuat hukum, yakni Allah SWT), namun kekuasaan (al-sultan) tetaplah di tangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan bererti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukum atau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation). Sedang bicara tentang kekuasaan bererti berhubungan dengan siapa yang menjadi sumber kekuasaan (source of power).

Dalam Islam yang menjadi sumber hukum adalah Allah SWT yang telah menurunkan al-Qur’an dan as-Sunnah guna mengatur kehidupan manusia. Sementara, makna bahawa kekuasaan (al-sultan) di tangan rakyat adalah tak boleh seorang pun mengaku sebagai penguasa (khalifah) kecuali atas pilihan rakyat.

Dan ketika seorang khalifah dipilih oleh rakyat, ia semata dipilih untuk melaksanakan hukum-hukum Allah (syariah Islam). Kerana itu kata-kata, polisi atau aturan yang ditetapkan oleh Khalifah bukanlah otomatik sebagai kata-kata Tuhan yang lantas mutlak mesti diikuti dan tidak boleh dikritik, apalagi bila nyata-nyata ucapan dan perintah itu bertentangan dengan syariah.

Rasullah Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menyatakan: “Tiada keta’atan kepada manusia dalam maksiat kapada Allah SWT”. Maka, khalifah saat mengambil keputusan tetap mesti merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Ertinya, keputusan khalifah baru boleh dita’ati selama merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Kalau tidak, bukan hanya tidak boleh, bahkan wajib ditolak dan dikritik keras.

Kerana itulah dalam Islam ada kewajiban mengoreksi penguasa (khalifah) yang dikenal dengan konsep muhasabah lil hukkam. Bahkan Islam menempatkan derajat yang sangat tinggi bagi aktifiti untuk mengkoreksi penguasa ini. Dalam hadis disebutkan, “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kata-kata yang hak di depan penguasa yang jair/dhalim (kejam).” Mereka yang dibunuh akibat mengoreksi penguasa yang keliru bahkan diberi gelar setara saiyyudusyuhada (pemimpin para syahid) (M. Ismail Yusanto, Khilafah Islam, Sistem Tiranik? Menjawab Kritikan Terhadap Konsep Khilafah, www.hizbut-tahrir.or.id).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar